Sebuah blog pembelajaran

Kamis, Juni 25, 2009

Ikhlaskanlah hatimu, Ibu....

Setiap ibu pasti pernah merasakan repotnya merawat dan mengasuh balita. Aku juga pernah merasakannya. Saat anakku sangat tergantung dengan keberadaanku. Seperti buntut yang melekat selalu mengekor tidak mau lepas bahkan ke toilet sekalipun anakku tidak mau ditinggal walaupun ada nenek, kakek, dan abinya di rumah. Saat itu aku sempat berpikir betapa menjengkelkannya tingkah anakku.

Namun saat memandangi wajah anakku ketika ia terlelap, perasaan itu luruh tak berbekas. Yang ada hanyalah linangan air mata dan pengakuan dari lubuk hati terdalam, betapa aku sangat menyayangi anakku. Aku menyerah takluk, tak mampu berargumen tentang mengapa aku tidak mampu menyimpan rasa kesal pada anakku.

Mungkin itulah yang disebut naluri keibuan, anugerah terbesar bagi seorang perempuan dari Rabb penguasa alam semesta.

Maka alangkah herannya aku saat mendengar curhat temanku, ibu dari seorang putri yang menceritakan kemanjaan anakknya dengan nada marah dan sesal. Ibu yang lebih menginginkan sang pengasuhlah yang harus meladeni dan mengasuh anaknya. Ibu yang ingin leha-leha beristirahat tak ingin diganggu oleh rengekan anaknya.

Ibu, coba renungkan bahwa rengekan anak tidak berlangsung terus-menerus 24 jam. Ada saatnya ia tertidur dan itulah saat terbaik untuk ibu menata hati agar selalu ikhlas menjaga amanah dari Allah SWT.

Tidakkah ibu berpikir bahwa ketergantungan anak pada ibunya tidak akan berlangsung lama. Nanti saat ia menginjak usia remaja, ketergantungan itu akan makin berkurang. Mereka telah memiliki dunia baru yang mungkin kita tak diijinkan untuk menyentuhnya.

Berapa lama lagikah ia akan selalalu menjadikan kita, ibunya, sebagai tempat keluh kesahnya, tempat meminta pertolongan, sebagai hero dan idola di hatinya.

Tidakkah ibu berpikir, saat ia bekeluarga, ia akan semakin menjauh dari jangkauan, dari pelukan.

Tidakkah ibu berpikir, sekali saja, bahwa pengorbanan kita, berkurangnya waktu istirahat kita, berkurangnya kesempatan berdua-duaan dengan suami tercinta, berkurangnya kesempatan mengembangkan karir, ataupun berkurangnya waktu untuk jalan-jalan dengan teman-teman, tidaklah seberapa dibandingkan sebuah pelukan sayang dan air mata kerinduan yang tercurah dari dia suatu saat nanti. Dia yang membawa keluarga baru dalam hidup kita. Dia yang akan merawat dan mengasihi saat kita menjadi tua dan tak berdaya. Dia, anak yang selalu merepotkan itu.

Jadi, jangan lagi menghindar dari tugas dan tanggung jawab ibu. Hapuslah air mata sang buah hati, cium dan peluklah ia. Sampaikanlah padanya betapa ibu sangat menyayanginya. Sayangilah sepenuh hati maka ia akan merasakan betapa indah dan bahagia dunia kecilnya. Semoga kebahagiaan itu mengiringi selalu di sepanjang jalan kehidupannya, selamanya.


Semoga kita (saya) menjadi ibu yang
selalu mau mengakui kesalahan, kelemahan, dan selalu mau belajar menjadi ibu yang ikhlas mengasihi anak-anaknya.

(Umi wanna say: I love you Aghniya.)
Share:

2 komentar:

Nunung Nurjanah, S.Pd. mengatakan...

Memang terkadang seorang ibu lupa bahwa anak adalah suatu anugrah bukan suatu beban.Jika anugrah berarti anak selalu "memberi" bukan "meminta".Anak yang memberikan kebahagian,harapan,pembelajaran,jalan pahala,mengangkat derajat keluarga dan banyak lagi pemberianya.
Oleh anak seorang ayah bisa hilang rasa capenya,Ibu bisa tersenyum,tertawa bahkan menagis terharu,oleh anak orang tua bisa diingatkan dengan segala kepolosannya atau pengetahuaanya.
Terkadang akupun menagis jika ingat betapa sedikitnya pengetahuannku tentang perkembangan anak dan tugas seorang ibu.
"Untuk para Ibu- Ibu teruslah menambah pengetahuan sejalan dengan perkembangan anak dan bertambahnya jumlah momongan"

Euis Kurniawati mengatakan...

''bertambahnya jml momongan'', betapa inginnya, semoga aku cpt smbuh spy bs nambah momongan, he3.
Nuhun Nung, tos komentar nu kalintang bermanfaat.

Translate

Twitter